Rabu, 14 Agustus 2013

Ketupat Lebaran

Setiap kali Hari Raya Idul Fitri atau lebaran tiba, saat itu pula kita berkesempatan makan ketupat. Tradisi ketupat memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia saat lebaran. Namun, tahukan Anda apa makna ketupat itu? Apakah hanya sekedar makanan yang dihidangkan saat lebaran saja? Atau justru menyimpan makna dan pesan yang mendalam yang perlu disampaikan.

Dalam berbagai catatan, masyarakat Jawa umumnya mengenal dua kali pelaksanaan Lebaran, yaitu Idul Fitri dan Lebaran ketupat. Idul Fitri dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal, sedangkan Lebaran ketupat adalah satu minggu setelahnya (8 Syawal).

Tradisi Lebaran ketupat diselenggarakan pada hari ke delapan bulan Syawal setelah menyelesaikan puasa Syawal selama 6 hari. Hal ini berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah 6 Hari di bulan Syawal.

Dalam sejarahnya, Lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, saat itu, beliau memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan shalat Ied satu Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim, sedangkan Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran.

Pada hari itu, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat ketupat, yaitu jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa (janur) yang dibuat berbentuk kantong, kemudian dimasak. Setelah masak, ketupat tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua, sebagai simbol kebersamaan dan lambang kasih sayang.

Dalam bahasa Jawa, ketupat disebut kupat. Kata kupat berasal dari suku kata ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat (kesalahan). Sehingga ketupat menjadi simbol mengakui segala kesalahan yang pernah diperbuat.

Tradisi ketupat lebaran kiranya dapat dikaitkan dengan peran para wali, terutama walisongo dalam penyebaran Islam di Indonesia. Boleh jadi, tradisi kupatan sudah ada pada zaman pra-Islam Nusantara, sebagaimana tradisi selamatan yang juga sudah ada dan berkembang di Indonesia. Namun tradisi kupatan kemudian memperoleh sentuhan baru di zaman penyebaran Islam oleh Walisongo di dalam kerangka untuk menghadirkan tradisi yang akomodatif atau akulturatif di dalam masyarakat Jawa dan Nusantara pada umumnya.

Dari sisi bahasa, kupatan (bahasa Jawa) kiranya berasal dari kata Kaffatan (Bahasa Arab) yang memperoleh perubahan bunyi dalam ucapan Jawa menjadi kupatan. Sama dengan kata barakah (bahasa Arab) menjadi berkat (bahasa Jawa) atau salama (bahasa Arab) menjadi selamet (bahasa Jawa).

Maka secara istilah, dapat dinyatakan bahwa kupatan adalah simbolisasi dari berakhirnya bulan puasa dan menandai terhadap kesempurnaan atau kaffatan di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Jadi tradisi kupatan sebagai penanda terhadap keislaman manusia yang sudah sempurna.

Dalam gambaran para waliyullah itu, bahwa kupatan adalah simbolisasi seseorang yang sudah memasuki Islam secara sempurna. Indikasinya sebagai berikut:
1. Sudah melaksanakan puasa sebagai tazkiyat al nafs
2. Melaksanakan zakat sebagai tazkiyat al mal
3. Dan juga hablum min al nas dalam wujud saling silaturrahmi untuk meminta maaf kepada sesama manusia.

Orang yang seperti ini maka digambarkan sebagai orang yang kaffah, sempurna. Kehidupannya telah memasuki dunia fitrah, suci dalam konsepsi keberagamaan.
Selain itu, ada juga yang bilang, ketupat atau kupat berasal dari kata laku papat . Laku artinya perbuatan, papat artinya empat. Keempat perbuatan yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan sampai 1 Syawal itu adalah: puasa Ramadhan, tarawih, zakat, dan salat Ied.

Tradisi menyajikan ketupat pada hari Lebaran, bukan hanya ada di Indonesia. Di Malaysia, Brunai, Singapura, Filipina, juga Kepulauan Cocos (di Australia) ternyata ketupat juga dibuat saat merayakan Lebaran.